Sejarah integrasi Papua Barat ke
Akibat pendirian PT Freeport itu, berhektare-hektare hutan habis dibabat, limbah industri tidak dikelola dengan semestinya, tanah warga dan hak ulayat digusur, intimidasi dan teror terus menghantui masyarakat Papua yang menuntut haknya, serta berbagai ketimpangan lainnya.
Tidak berhenti di situ, untuk menjaga kepentingan pemodal (kapitalis) pemerintah melakukan pendekatan militeristik dengan cara-cara kekerasan dan represif. Pendekatan militeristik itu semakin menipiskan kepercayaan masyarakat Papua terhadap pemerintah Indonesia. Bahkan, kekerasan militer ini menimbulkan dendam kesumat bagi mereka yang menjadi korban kekerasan. Sehingga sulit memutus mata rantai kekerasan yang berlangsung terus-menerus di Papua
Kondisi ini, diperparah dengan kesenjangan sosial antara masyarakat Papua dengan masyarakat pendatang. Interaksi sosial yang tampak wajar dari luar, sesungguhnya menyimpan kesenjangan. Di Papua beragam kultur dari berbagai wilayah di Indonesia bertemu dan berinteraksi, namun hal itu tidak dibarengi dengan penguatan kesadaran dan kepekaan sosial, sehingga menimbulkan masalah sosial tersendiri. Akses ekonomi, pendidikan, keterampilan, politik, dan berbagai bidang lainnya lebih didominasi warga pendatang yang membangkitkan kecemburuan sosial.
Terms ’Indonesia’ sebagai pembuat dosa bisa masuk akal, karena Indonesialah yang menyelenggarakan pemerintahan dan kebijakan di Papua.
Status Masyarakat Papua Pirbumi pada tingkat Nasional
Tanggal 9 Agustus sejak tahun 1994 telah diperingati sebagai hari bangsa pribumi oleh lebih dari 370 juta masyarakat pribumi yang hidup di 70 negara diseluruh dunia. Peringatan ini menjadi bagian dari upaya badan dunia untuk mempromosikan perlindungan hak-hak azasi manusia terhadap masyarakat pribumi.
Di Indonesia, yang memiliki komunitas masyarakat pribumi dihampir setiap wilayahnya, ternyata tidak terlalu antusias dalam merayakan hari bangsa-bangsa pribumi ini. Terutama di Papua yang saat ini tengah menjalankan Otonomi Khusus, yang memberikan banyak peluang untuk keterlibatan masyarakat pribumi (orang asli) Papua dalam menentukan kebijakan pembangunan di Papua, tidak terlihat sama sekali pengakuan terhadap keberadaan orang asli Papua melalui sebuah kegiatan perayaan terhadap hari bangsa-bangsa pribumi ini. Bahkan, kantor perwakilan ILO yang ada di Papua yang melahirkan konvensi-konvensi tentang masyarakat adat dan bangsa pribumipun tidak membuat sebuah kegiatan untuk memperingati hari bangsa pribumi tersebut. Hal ini mungkin saja, karena Indonesia sendiri belum meratifikasi Konvensi ILO 107 tentang Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat (Indigenous and Tribal Populations Convention), 1957 atau Konvensi ILO 169 tentang Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat (Indigenousand Tribal Peoples Convention), 1989.
Terlepas dari sudah atau belumnya kedua konvensi tersebut diratifikasi, menurut Sekretaris Dewan Adat Papua, Leo Imbiri, peringatan hari pribumi ini tidak terlihat ramai diperingati karena kurangnya sosialisasi tentang hak dan kewajiban bangsa pribumi.
Konvensi ini menganggap hak-hak mereka tetap diakui di dalam kehidupan masyarakat luas di negara mereka tinggal. Bangsa pribumi dan Masyarakat Adat dapat membentuk institusinya sendiri dan menentukan tahapan pembangunan yang mereka inginkan. Konvensi ini juga menghimbau para pemerintah untuk melakukan konsultasi dengan masyarakat adat dalam mengambil kebijakan dan melakukan tindakan berdampak langsung kepada masyarakat adat. Yang paling penting adalah memberikan kepada masyarakat adat hak untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan, kebijakan atau program yang terkait dengan mereka. Pengakuan terhadap bangsa pribumi dan masyarakat adat ini semakin dipertegas dalam sidang resolusi PBB tanggal 23 Desember tahun 1994 yang menetapkan tanggal 9 Agustus sebagai hari internasional untuk bangsa Pribumi.
Meskipun Indonesia belum meratifikasi konvensi-konvensi ILO yang berkaitan dengan masyarakat adat dan pribumi, namun substansi yang ada dalam UU No.21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi provinsi Papua membuka peluang besar orang asli Papua dan Masyarakat Adat untuk terlibat secara aktif dalam proses-proses pembangunan di Tanah Papua.
Undang-undang ini memberikan dasar hukum yang kuat bukan saja agar memprioritaskan orang asli Papua sebagai subjek sekaligus objek pembangunan, tapi juga kepada pemerintah daerah agar secara aktif mendorong keterlibatan masyarakat adat dalam proses-proses pembangunan. Hanya saja, luas dan jenis hak-hak masyarakat asli yang lebih terperinci tampaknya harus dipersiapkan dan dituangkan dalam peraturan-peraturan yang melengkapi. Apa dan siapa orang asli Papua serta Masyarakat Adat Papua harus diperjelas dalam sebuah peraturan daerah khusus sehingga subjek dan objek peraturan-peraturan daerah berikutnya menjadi jelas.
Untuk kepentingan itu, ada baiknya jika uraian tentang apa dan siapa orang asli (pribumi) Papua dan hak-hak masyarakat adat seperti yang tercantum dalam instrument internasional ini bisa menjadi acuan substantif. Dengan begitu, perlindungan hak-hak masyarakat asli tidak sekadar menjadi nilai dasar yang mati, melainkan benar-benar akan menjadi jaminan normatif bagi perlindungan masyarakat adat dan hak-hak mereka
Isu HAM Pada Masyarakat Pribumi
Pengibaran bendara Bintang Kejora masih terus menjadi terjadi di tanah Papua. Bendera ini masih menjadi simbol bagi pengakuan dan perlakuan yang lebih baik bagi rakyat Papua. Pengibaran bendera yang dimaknai separatisme oleh aparat TNI/Polri, sesungguhnya merupakan ekspresi dari ke frustasian dari jauhnya harapan menjalani hidup yang lebih baik di tanah sendiri. Pemerintahan yang korup, sumber daya alam berlimpah hanya jadi perahan "orang asing", sementara mereka hanya menjadi penonton dan `penikmat' dari kehancuran alam yang terjadi. Belum lagi tindakan aparat TNI/Polri yang mengamankan investasi itu telah berlaku selayaknya pengamanan swasta dibanding aparat negara.
Sepanjang tahun 2008 telah terjadi 4 peristiwa pengibaran bendera Bintang Kejora di Papua, yaitu di Sentani, Wamena, Manokwari dan Fak-fak. Pada 16 Oktober pengibaran bendera Bintang Kejora di Yogyakarta, Kamis (16/10), adalah bentuk dukungan pada kemerdekaan Papua. Simbol tersebut dikibarkan bersamaan dengan digelarnya acara International Parliementer for West Papua di London, Inggris. Pada 19 Juli 2008 lalu, terjadi pengibaran bendera Bintang Kejora di Fak-fak, Papua. Aparat kepolisian hanya menjamin para tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum, tidak mendapatkan tindakan penyiksaan serta perlakuan yang merendahkan martabat manusia dalam proses pemeriksaan.
Masih bergolaknya berbagai peristiwa politik di Papua tak lepas dari belum terselesaikannya permasalahan secara komprensif. UU No. 21 tahun 2001. Yang sedianya menjadi sandaran hukum untuk mengatasi persoalan ekonomi, sosial, hukum dan politik di Papua masih belum cukup. Mandat menyelesaikan permasalahan HAM di Papua belum dapat diatasi karena hingga saat ini pengadilan HAM dan KKR di Papua belum terbentuk.
Berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat terus mendorong dikedepankannya dialog antara pemerintah, masyarakat Papua dan OPM untuk mencari solusi terbaik bagi penyelesaian berbagai permasalahan di Tanah Papua. Pengalaman penyelesaian konflik di Aceh melalui Perjanjian Damai hendaknya menjadi semangat untuk mencari jalan keluar terbaik untuk keadilan bagi masyarakat Papua. Tanpa pendekatan itu, upaya internasionalisasi atas Papau rasanya sulit diredam.
Upaya Pemerintah Dalam Penegakan HAM di Papua
Dalam rangka penanganan permasalahan hak asasi manusia secara lebih terintegrasi dan komprehensif di Papua, pada tahun 2006 melalui kegiatan monitoring dan evaluasi pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia, Keppres Nomor 40 tahun 2004, maka pemerintah menyelaraskan pembangunan HAM yang lebih selaras dan implementasinya lebih optimal. Dalam rangka perlindungan dan penegakan HAM maka pemerintah Indonesia mengupayakan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang masih tertinggal di Papua baik dari segi Hukum maupun kebijakan.
Dalam rangka penghormatan hak asasi manusia upaya-upaya telah banyak dilakukan baik berupa pembenahan peraturan perundang-undangan maupun dalam rangka penegakan hukumnya. Sejak tahun 2005 telah dilakukan upaya untuk mempermudah pemberian perlindungan HAM terhadap masyarakat yaitu dilakukan dengan membentuk perwakilan Komisi Nasional HAM di tiga daerah, termasuk salah satunya di Papua.
Program lainnya yaitu pemerintah melalui pemerintah propinsi papua meluncurkan Program Respek (Rencana Strategis Pembangunan Kampung), yang perlahan tapi pasti program ini telah menjadi popular di kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah. Respek seakan menjadi “Dewa Penolong” ditengah-tengah kesulitan yang dihadapi orang Papua. Program ini merupakan program yang layak guna memandirikan masyarakat di kampung dalam perspektif pembangunan.
DAFTAR REFERENSI
Allard K, 2003, Indonesian Human Rights Abuses in West Papua: Application of the Law of Genocide to the History of Indonesian Control’, Lowenstein International Human Rights Clinic, Yale Law School.
Dominggus A. Mampioper, 2008, UU Otsus Bukan Sekadar Besarnya Dana, Tabloid Jubi, Jayapura
J. Budi Hernawan, 2005, Kasus Theys : pelanggaran HAM?? Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura, www.hampapua.org
John J. Boekoisiom, 2008, Tiga Tahun MRP dan Tujuh Tahun Otsus Papua, http://www.tabloidjubi.com
Komnas Perempuan, 2008, Urgensi Meningkatkan Peran Nasional untuk Penegakan HAM Perempuan Papua: Sebuah Langkah Awal, Sambutan dalam diskusi publik tentang Papua, 26 November 2008
Kontras, 2008, Evalusi Penegakan HAM, Catatan Peringatan 60 Tahun Deklarasi Universal HAM, http://www.kontras.org
Sapto Pradityo, 2004, Selama Pemerintahan Megawati, Penegakan HAM Mandek, http://www.tempointeractive.com
Theo van den Broek, 2004, Pola Pelanggaran HAM di PAPUA, makalah, disajikan dalam workshop “Genoside di Papua” yang diselenggarakan oleh ElsHam Papua pada tanggal 13 Maret 2004, Jayapura
Victor Mambor, 2008, Hak-Hak Dasar Masyarakat Adat Papua ; “Nilai Dasar Yang Mati dalam Sebuah Undang-Undang” http://victormambor.wordpress.com
No comments:
Post a Comment