MENERIMA PEMBUATAN MAKALAH/ TUGAS KULIAH

DAN JURNAL REVIEW S1, S2 dan S3

.

a. Tugas Makalah

Paparan Biasa tanpa Power Point, isi 10 Halaman Rp. 250.000

Paparan Biasa tanpa Power Point, isi 20 Halaman Rp. 450.000

Paparan Biasa pakai Power Point, isi 10 Halaman Rp. 350.00

Paparan Biasa pakai Power Point, isi 20 Halaman Rp. 550.000

b. Jurnal Review

Paparan Biasa tanpa Power Point, isi 5 Halaman Rp. 200.000

Paparan Biasa pakai Power Point, isi 10 Halaman Rp. 300.00

c. Tugas Kuliah

Ujian Take Home Manajemen, isi 3 - 5 pertanyaan Rp. 200.000

Ujian Take Home Politik Pemerintahan, isi 3 - 5 pertanyaan Rp. 200.000

Ujian Take Home Pemberdayaan , isi 3 - 5 pertanyaan Rp. 200.000

Ujian Take Home Keuangan Daerah, isi 3 - 5 pertanyaan Rp. 300.000



d. PEMBUATAN BAHAN AJAR/BUKU CETAK LENGKAP DENGAN ISBN

Bahan Ajar dan Buku Cetak dengan tema ilmu sosial, politik, ekonomi,
manajemen, administasi, pendidikan dll. cocok untuk guru, dan dosen
Dengan biaya Penulisan Naskah mulai 4 Juta/100 hal, ditambah ongkos cetak
  • 100-120 hlm = @ Rp 20.000,- / eksemplar
  • 121-140 hlm = @ Rp 21.000,- / eksemplar
  • 141-160 hlm = @ Rp 22.000,- / eksemplar
  • 161-180 hlm = @ Rp 23.000,- / eksemplar
  • 181-200 hlm = @ Rp 24.000,- / eksemplar
  • 201-220 hlm = @ Rp 25.000,- / eksemplar
  • 221-240 hlm = @ Rp 26.000,- / eksemplar
  • 241-260 hlm = @ Rp 27.000,- / eksemplar
  • 261-280 hlm = @ Rp 28.000,- / eksemplar
  • 281-300 hlm = @ Rp 29.000,- / eksemplar

silahkan hubungi kami di 08231 6473 817 atau email : rivhandi@yahoo.com

Monday

EVALUASI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DANA DEKONSENTRASI DAN DANA TUGAS PEMBANTUAN

A. Pendahuluan

Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang telah dilaksanakan sejak tahun 2001 adalah dalam rangka mendukung pencapaian tujuan pembangunan nasional. Seiring dengan perubahan dinamika sosial politik, Pemerintah telah melakukan revisi beberapa materi dalam undang-undang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dengan ditetapkannya Undang-undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Substansi perubahan kedua undang-undang tersebut adalah semakin besarnya kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola pemerintahan dan keuangan daerah. Dengan demikian diharapkan pembangunan daerah dapat berjalan sesuai dengan aspirasi, kebutuhan, dan prioritas daerah, sehingga dapat memberikan dampak positif bagi perkembangan ekonomi regional, yang pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Instrumen utama kebijakan desentralisasi fiskal adalah melalui kebijakan Transfer ke Daerah, yang terdiri dari Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus. Adapun Dana Perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK), yang merupakan komponen terbesar dari dana Transfer ke Daerah. Alokasi dana Transfer ke Daerah terus meningkat seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu dari Rp81,1 triliun pada tahun 2001 menjadi Rp253,3 triliun pada tahun 2007, dan diperkirakan menjadi Rp293,6 triliun pada tahun 2008, atau tumbuh ratarata sebesar 20,2 persen per tahun

Selain dana desentralisasi tersebut, Pemerintah juga mengalokasikan dana untuk membiayai program dan kegiatan yang menjadi kewenangan Pemerintah di daerah, yaitu dana dekonsentrasi, dana tugas pembantuan, dan dana untuk melaksanakan program dan kegiatan instansi vertikal di daerah. Walaupun dana-dana tersebut tidak masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), namun secara nyata dana tersebut dibelanjakan di daerah, baik dalam bentuk belanja fisik maupun nonfisik.

Jumlah dana tersebut cukup signifikan dan proporsinya terhadap belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) cukup tinggi. Pada tahun 2008, total dana yang dibelanjakan di daerah telah mencapai 41,3 persen dari total belanja APBN.

B. Landasan Teori

Berdasarkan PP No. 38 Tahun 2007 menjelaskan bahwa Dana Dekonsentrasi merupakan dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di daerah. Dana ini timbul karena adanya pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah (WP) dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.

Sementara itu Dana Tugas Pembantuan (TP) merupakan dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh daerah dan desa yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan. Dana ini berdasarkan adanya penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa, dari pemerintah provinsi kepada kabupaten, atau kota dan/atau desa, serta dari pemerintah kabupaten, atau kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan.

Bila dilihat berdasarkan dari landasan hukum, maka kebijakan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan adalah sebagai berikut:

  1. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
  2. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
  3. PP No. 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah.
  4. PP No. 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga.
  5. PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
  6. PP No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.

B. Pembahasan

Untuk tidak melebarkan masalah pada pembahsan ini, penulis memfokuskan pada salah satu daerah propinsi, yaitu propinsi Maluku Utara dengan bahasan dekonsentrasi yang meliputi kegiatan malaria, kesehatan ibu dan gizi serta dana tugas pembantuan pada kegiatan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perorangan.

Alokasi dana APBN dari pemerintah pusat untuk Dinas Kesehatan Propinsi Maluku Utara khusunya dekonsentrasi pada tiap tahunnya mengalami peningkatan sedangkan dana tugas pembantuan yang turun dalam bentuk bantuan Inpres 6 untuk Daerah Pasca Konfik yang terdiri atas 2 kegiatan yaitu upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perorangan pada tiap tahunnya mengalami penurunan bila dibandingkan dengan kebutuhan rill yang dituangkan dalam draft usulan anggaran pada tiap tahunnya. Sejak tahun 2005-2007, alokasi anggaran yang turun hanya berkisar antara 45% - 50%.

Mekanisme turunnya anggaran yang terjadi selama ini tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Tahun 2005 sampai 2007 rata-rata turunnya anggaran pada bulan Juni hingga Juli. Pada tahun 2007 kondisi anggaran dekonsentrasi dan tugas pembantuan mengalami devisit secara nasional sehingga berimbas pada pemanfaatan anggaran tersebut didaerah dimana daerah mengalami pemotongan anggaran sebanyak 15%. Kemudian di tahun 2008 ini, kepastian tentang pengalokasian dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan sendiri juga belum jelas.

Mekanisme proses perencanaan dan penganggaran baik dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan di Dinas Kesehatan Propinsi Maluku Utara sejak Tahun 2005- 2007 selama ini telah melibatkan seluruh komponen di tingkat kabupaten/kota maupun intern Dinas Kesehatan itu sendiri. Perencanaan penganggaran kegiatan dana dekonsentrasi untuk masing-masing program khususnya program malaria maupun gizi, dilakukan pada saat rapat evaluasi program. Hasil yang diperoleh dari evaluasi program ini kemudian ditindaklanjuti oleh Dinas Kesehatan Propinsi ke dalam sebuah Rapat Kerja Kesehatan Daerah (RAKERKESDA) guna membahas lebih lanjut rencana kerja tahunan kesehatan untuk dituangkan ke dalam anggaran APBN.

Pada proses perencanaan dan penganggaran kegiatan dana tugas pembantuan untuk masing-masing program sama dengan proses perencanaan dan penggaran dana dekonsentrasi. Propinsi Maluku Utara selama ini dalam proses perencanaan dan pengaanggran hanya melakukan lobby untuk dana tugas pembantuan sampai di tingkat Departemen Kesehatan. Lobby tidak dilakukan sampai di tingkat DPR. Lobby di tingkat DPR hanya dilakukan olen oleh departemen kesehatan sehingga Propinsi Maluku Utara dapat dikatakan tidak pernah melakukan proses lobby penentuan jumlah besaran dana yang akan disetujui kepada DPR.

Realisasi dilapangan selama ini juga menunjukkan bahwa selalu muncul gap antara DIPA dari Departemen Kesehatan Pusat RI dengan usulan daerah setiap tahunnya. Munculnya gap ini penulis asumsikan disebabkan oleh sistem perencanaan dan penganggaran yang terjadi selama ini di propinsi belum sejalan dengan apa yang ditentukan di dalam PP No 07 tahun 2008 tentang dekonsentrasi dan tugas pembantuan seharusnya. Sehingga transfer dana yang sampai di daerah berbeda antara DIPA yang disetujui dan dikeluarkan oleh pemerintah pusat belum sesuai dengan draft usulan yang ajukan oleh Dinas Kesehatan Propinsi Maluku Utara. Selalu muncul gap antara DIPA dari Departemen Kesehatan Pusat RI dengan usulan daerah pada setiap tahunnya.

Hal ini sejalan dengan PP No 07 tahun 2008 tentang dekonsentrasi dan tugas pembantuan, dimana proses perencanaan dana dekonsentrasi maupun tugas pembantuan ini harus melibatkan seluruh jajaran di tingkat daerah bahkan sampai di tingkat desa. Proses perencanaan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan telah melibatkan seluruh pemegang program propinsi, Dinas Kesehatan kabupaten/kota serta puskesmas sebagai instansi kesehatan di tingkat desa. Pemerintah Daerah diwajibkan membuat rencana indikatif kebutuhan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang diperlukan oleh setiap sektor di daerahnya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya, interaksi yang terjadi antara komponen-komponen terkait dalam proses perencanaan anggaran ini, mengakibatkan terjadinya lobby dan negosiasi. Lobby dan negosiasi yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Propinsi Mauluku Utara selama ini belum sampai pada tingkat bagaimana melibatkan komponen yang ada diluar Dinas Kesehatan. Lobby dan negosiasi yang dilakukan adalah baru pada sebatas dengan unit esalon I vertikal. Lobby dan negosiasi yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Propinsi Maluku Utara selama ini belum menunjukan hasil yang sesuai dengan kebutuhan sesungguhnya.

Pada saat ini, lobby dan negosiasi yang dilakukan dengan memanfaatkan kekuatan politis ternyata memiliki dampak dan hasil yang lebih baik. Lobby dan negoisasi sangat penting dalam proses perencanaan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan di daerah Lebih lanjut dikatakan bahwa lobby dan pendekatan serta advokasi kepada partai politik juga dibutuhkan dalam pelaksanaan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan, metode pendekatan ini bisa diterapkan dalam upaya untuk melancarkan draft perencanaan anggaran dan kegiatan yang sesuai dengan permasalahan dan kebutuhan daerah. Penyusunan rancangan kebijakan harus memperhitungkan juga aspek nilai-nilai politik misalnya partai politik yang dalam sistematika pemerintahan dan demokrasi memegang peranan yang paling penting dalam sebuah birokrasi

Dari penjelasan diatas menunjukan bahwa advokasi di dalam penganggaran sangat memiliki peranan yang sangat penting untuk menjembatani antara input dengan ouput yang diharapkan atau dengan kata lain harapan akan realisasi dana dekonsentrasi yang sesuai dengan yang diinginkan oleh daerah melalui usulan daerah tersebut dapat terpenuhi. Untuk melakukan advokasi bukan sekedar melakukan lobby-lobby politik, tetapi mencakup kegiatan persuasif, memberikan semangat dan bahkan sampai memberikan tekanan kepada para pemimpin institusi. Oleh karena itu prinsip-prinsip advocacy ini akan membahas tentang tujuan, kegiatan dan argumentasi-argumentasi. Adapun tujuan utama yang diharapkan dari advokasi adalah untuk memperoleh komitmen dan dukungan kebijakan dari para penentu kebijakan atau pembuat keputusan di segala tingkat. Besar kecilnya realisasi dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan bagi masing-masing daerah sangat tergantung dari variabel yang diduga dominan yaitu adanya political approach seperti negosiasi dan lobby.

Relalisasi dana untuk kegiatan dalam DIPA dengan kebutuhan dana yang diusulkan belum sesuai dengan keinginan daerah. Adanya gap ini kemungkinan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: Keuangan negara yang memang minim untuk mengeluarkan anggaran yang besar di bidang kesehatan dan kesehatan tidak termasuk dalam prioritas pembangunan. Ada dua kemungkinan yang menyebabkan rendahnya biaya kesehatan di Indonesia yaitu keuangan negara yang memang minim untuk membiayai pelayanan kesehatan serta sektor kesehatan yang tidak termasuk dalam prioritas pembangunan, rendahnya alokasi anggaran yang diperoleh Dinas Kesehatan dimungkinkan karena terdapat beberapa kegiatan yang diusulkan dalam anggaran tetapi tidak mendapat persetujuan dari pusat.

Ada dua faktor yang memungkinkan terjadinya hal tersebut, yaitu:

1) Kebijakan dalam mengalokasikan anggaran APBN tidak didasarkan pada kebutuhan dinas kesehatan propinsi,

2) ketidakmampuan SDM perencana dinas kesehatan dalam meyakinkan pusat tentang pentingnya pengalokasian anggaran untuk kegiatan tersebut

Selama ini daerah mungkin terlalu besar membuat perencanaan dana untuk pelaksanaan kegiatan/program dan daerah cenderung mengurangi besarnya jumlah anggaran dari daerah sendiri di bidang kesehatan, hal ini seperti yang diungkapkan oleh Rienke dan Taylor (1996) yang mengatakan bahwa menyusun bahan perencanaan kesehatan bukan hal yang sederhana sehingga output yang dihasilkan juga belum sesuai dengan yang diharapkan Sejalan dengan kebijakan desentralisasi fiskal sebagai salah satu instrumen kebijakan Pemerintah mempunyai prinsip dan tujuan antara lain untuk: (i) mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (vertical fiscal imbalance) dan antardaerah (horizontal fiscal imbalance); (ii) meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah dan mengurangi kesenjangan pelayanan publik antar daerah; (iii) meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya nasional; (iv) tata kelola, transparan, dan akuntabel dalam pelaksanaan kegiatan pengalokasian Transfer ke Daerah yang tepat sasaran, tepat waktu, efisien, dan adil; (v) dan mendukung kesinambungan fiskal dalam kebijakan ekonomi makro. Di samping itu, untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, kepada daerah diberikan kewenangan memungut pajak (taxing power)

Dengan model pendekatan top down ini, mengakibatkan adanya ketidaksesuaian dalam isian DIPA dengan kegiatan yang diusulkan oleh daerah. Hal ini dikarenakan oleh karena daerah tidak diberikan sebuah keleluasaan untuk menentukan sendiri jenis kegiatan yang sesuai dengan perasalahan dan kebutuhan nyata yang ada didaeranya. Fenomena ini sejalan pendapat yang dikemukakan oleh Herawati yang menjelaskan bahwa permasalahan ketidaksesuaian realisasi dana dekonsentrasi maupun dana pembantuan dengan perencanaan yang diusulkan oleh daerah karena daerah mungkin belum memiliki decision space yang luas

Selama ini aturan keuangan pusat dan daerah dalam satu sisi hanya untuk mendukung pelaksanaan pembangunan nasional, sedang di sisi lain adalah untuk memfasilitasi proses pembangunan di daerah yang dijalankan di bawah skema otonomi daerah. Proses pengaturan oleh pusat tidak dimaksudkan untuk mengembalikan sentralisme otoriter, dimana konsep perimbangan dimaksudkan agar terjadi keadilan dalam pembagian sumber daya bagi kepentingan nasional dan daerah.

Di era desentralisasi ini idealnya daerah harus mempunyai kewenangan dan decision space yang luas dalam transfer anggaran kesehatan, karena hal ini akan menunjukkan derajat desentralisasi daerah. Hal ini sebagaimana dengan konsep decision space yang dikemukakan oleh Bossert bahwa decision space digunakan untuk mengevaluasi pelaksanaan desentralisasi kesehatan di berbagai negara Decision space adalah berbagai macam fungsi dan kegiatan bagi daerah tersebut untuk mempunyai kewenangan yang dapat meningkatkan pilihan mereka. Kenyataannya Propinsi Maluku Utara sejauh ini belum memiliki decision space. Selain itu, kemungkinan ketidaksesuaian realisasi dana dengan usulan juga dapat dipengaruhi oleh faktor Departemen Kesehatan RI sendiri belum memiliki formulasi anggaran untuk alokasi secara khusus sehingga kemungkinan timbulnya ketidakadilan dalam alokasi anggaran dari pemerintah pusat sangat mungkin terjadi. Secara ideal Departemen Kesehatan RI dalam mengalokasikan anggaran harus memenuhi kriteria equity dan equality ketidaksesuaian realisasi dengan dana yang diusulkan karena meningkatnya dana desentralisasi, sehingga menimbulkan kemacetan transfer dana di pemerintah pusat.

Di dalam konsep desentralisasi pemerintah pusat masih mempunyai peran sebagai pemberi anggaran melalui anggaran dekonsentrasi yang akan sampai ke propinsi. Logikanya dana dekonsentrasi akan semakin menurun seiring dengan semakin meningkatnya dana desentralisasi. Secara praktis hal ini diwujudkan dalam fenomena merger-nya kantor-kantor wilayah departemen teknis ke pemerintah daerah. Penghilangan pola vertikal dekonsentrasi ini diwujudkan dalam pola dekonsentrasi di pemerintahan provinsi yang masih didanai oleh pusat. Berdasarkan kenyataan ini maka kriteria transfer dana dari pemerintah pusat ke daerah menjadi penting. Secara teoritis ada berbagai kriteria dalam transfer dari pemerintah pusat ke daerah yang mengkategorikan kriteria

C. Penutup

Proses perencanaan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan pada kegiatan malaria, kesehatan ibu, gizi, upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perorangan di Dinas Kesehatan Propinsi Maluku Utara sejak Tahun 2005-2007 masih tergantung dari hasil lobby dan negosiasi antara Dinas Kesehatan Propinsi dengan Departemen Kesehatan RI, Dinas Kesehatan Propinsi Maluku Utara belum melakukan lobby dan negoisasi langsung dengan DPR dan hanya mengklarifiasikan dana yang keluar dengan DJA.

Dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan pada kegiatan malaria, kesehatan ibu, gizi, upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perorangan yang terealisasi dalam DIPA belum memenuhi kebutuhan yang sesungguhnya di Dinas Kesehatan Maluku Utara tahun sejak 2005-2007. Dampak yang ditimbulkan akibat keterlambatan turunnya dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan terhadap pelaksanan kegiatan malaria, kesehatan ibu, gizi, upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perorangan di Dinas Kesehatan Propinsi Maluku Utara sejak tahun 2005-2007 adalah tingkat capaian masing-masing program belum sesuai dengan target.

Kebijakan tentang formulasi dan teknik alokasi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan tahun 2005- 2007 selama ini di Propinsi Maluku Utara masih bersifat top down dan belum menyesuaikan dengan anggaran dari pemerintah daerah, artinya belum mengacu kepada kebijakan desentralisasi fiskal yang diharapkan

DAFTAR BACAAN

Republik Indonesia, RAPBN, 2009, Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009, Jakarta.

Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 106 Tahun 2000 tentang pengelolaan dan pertanggung jawaban keuangan dalam pelaksanaan anggaran dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

Herawati, D.M.D., Perencanaan Anggaran Dan Teknik Alokasi Oleh Pemerintah Pusat Tahun 2006, www.desentralisasi-kesehatan.net

Bastian, I., (2006), Sistem Perencanaan dan Penganggaran Pemerintah Daerah di Indonesia, Salemba Empat, Jakarta.

Trisnantoro, L., 2004. Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi dalam Manajemen Rumah Sakit, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Winarno, B (2007) Kebijakan Publik, Teori dan Proses. PT Buku Kita, Jakarta.

Herawati, D.M.D., Perencanaan Anggaran Dan Teknik Alokasi Oleh Pemerintah Pusat Tahun 2006, www.desentralisasi-kesehatan.net

Sukarna, L.D., Budiningsih, N., Riyarto, S., Analisis Kesiapan Dinas Kesehatan Dalam

Mengalokasikan Anggaran Kesehatan Pada Era Desentralisasi, Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan Vol. 09. No. 01 Maret 2006, Gadjah Mada, Yogyakarta, Hal 10-18

Rienke, W.A., (ed), ( terjemahan Trisnantoro, L) (1994), Perencanaan Kesehatan untuk meningkatkan Efektifitas Manajemen ( Health Planning for Effective Management), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Republik Indonesia, RAPBN, 2009, Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah 2009, Jakarta.

Bossert, T. Analyzing the Decentralization Of Health Systems in Developing Countries: Decision Space, Innovations And Performance, Soc. Sci. Med. 1998;47(10).

Trisnantoro, L., Harbianto, D., 2005, Desentralisasi Pembiayaan Kesehatan Dan Teknik Alokasi Anggaran, www.desentralisasi-kesehatan.net

Shah A. 1994. The Reform of Intergovernmental Fiscal Relations in Developing and Emerging Market Economies, Policy and Research Series 23 (Washington DC. World Bank.).

Bastian, I., (2006), Sistem Perencanaan dan Penganggaran Pemerintah Daerah di Indonesia, Salemba Empat, Jakarta.

No comments:

Post a Comment